AKSESPUBLIK, Jakarta–Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan, mengungkapkan ada tanda tangan Dahlan Iskan, yang menjabat Menteri BUMN periode 2011-2014, saat pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) oleh PT Pertamina (Persero).
Hal ini disampaikan Karen setelah resmi ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan LNG oleh PT Pertamina (Persero). Menurut Karen, bukti mengenai keterlibatan Dahlan Iskan ini cukup nyata, dan dia mendorong meminta klarifikasi lebih lanjut kepada pihak Pertamina.
Karen mengatakan bahwa ada target yang jelas terkait proses ini, dan dia telah menjalankannya sesuai perintah jabatan yang diterimanya. Karen mengklaim Dahlan Iskan bahkan bertanggung jawab atas proses tersebut, sejalan Inpres Nomor 14 Tahun 2014.
“Itu jelas banget (ada disposisi tanda tangannya Dahlan Iskan, red). Tolong nanti ditanyakan ke Pertamina, di situ ada jelas bahwa ada targetnya,” kata Karen kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 19 September.
Karen mengatakan bahwa ada target yang jelas terkait proses ini, dan dia telah menjalankannya sesuai perintah jabatan yang diterimanya. Ia juga membantah dugaan terlibat dalam praktik korupsi atau melakukan tindakan yang tidak pantas dalam pengadaan LNG tersebut.
Dia menyatakan bahwa semua keputusan diambil setelah konsultasi dan penelitian mendalam, dengan persetujuan kolektif dari direksi Pertamina, dan semuanya dilakukan untuk melanjutkan proyek strategis nasional.
Situasi ini membuat Karen merasa sebagai korban, namun dia enggan berkomentar lebih lanjut mengenai hal ini. Pernyataan tersebut sekaligus membantah pernyataan Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan usai dipanggil KPK sebagai saksi.
Dahlan Iskan waktu itu mengaku tak tahu soal pembelian LNG di perusahaan pelat merah tersebut. Dia juga membantah dikulik soal aliran dana. “Tidaklah (tidak tahu, red). Saya kan bukan komisaris, bukan direksi. Itu teknis sekali di perusahaan,” tegasnya.
Ketua KPK Firli, yang mengungkapkan masalah ini, menekankan bahwa pelaporan seharusnya telah dilakukan dan dibawa ke Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Akibat dari tindakan ini adalah kerugian negara sekitar 140 juta dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp2,1 triliun.
Kargo LNG yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat tidak dapat terserap di pasar domestik, sehingga menghasilkan over supply dan memaksa penjualan dilakukan di pasar internasional dengan kerugian.
Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan awal pengadaan komoditas ini untuk kepentingan dalam negeri. (*)
Comment